Kamis, 17 Juni 2010

sejuta makna kasih bunda

Tok… tok… tok… bunyi pintu di ketuk. “Masih jam 7”, kataku dalam hati. selimutku kuangkat kembali menyelimuti seluruh tubuh. Kicauan burung bernyanyi riang menyambut pagi. Mataku masih sembab di sekelilingnya. Hatiku belum siap menerima kepergian bunda tercinta menghadap Ilahi. Tetesan air mata mengalir mengenang kenangan bersamanya. Aku masih ingat, saat Bunda mengajariku naik sepeda. Wajah ikhlas terpancar menemani diriku di saat aku terjatuh.“Sayang, bangun!. Kamu harus sekolah. Ayah tidak ingin kamu menangis terus”, kata Ayahku membujuk.Derai air mataku semakin menjadi-jadi. Bunda yang kucintai telah meninggalkanku untuk selamanya. Tidak ada lagi yang menemaniku tidur. Tidak ada lagi yang memarahiku di saat aku salah. Semua telah menjadi kenangan di dalam hati.“Tania, Bunda selalu ada di sini bersama kita. Dia tidak ingin melihat anaknya menangisi kepergiannya. Dia ingin kamu bisa bahagia”, kata Ayah mengetuk pintu.“Yah, Tania belum mau sekolah. Biarkan Tania sendiri”.“Tapi sayang, kamu sudah lima hari tidak sekolah. Kamu akan ketinggalan pelajaran dan prestasi kamu akan menurun sayang. Bunda kamu pasti tidak mau melihat kamu begitu”.Angin pagi bertiup menusuk bulu tanganku. Rasa kehilangan belum sirna di hati. Dengan wajah sayu, aku menuju ke kamar mandi. Kubasahi tubuhku dengan air agar rasa kesedihan hilang. “Maaf Yah atas kelakuan Tania”, kataku sembari duduk di Meja makan.“Kamu sudah baikan sayang”.“Belum Yah”.“Ayah tahu perasaan kamu. Ayah juga merasa kehilangan atas kepergian Bunda kamu. Tapi ketahuilah anakku, Bunda akan selalu berada di sekeliling kita”, katanya memelukku.Cuma ayah yang kumiliki sekarang. Dia yang selalu menemaniku di saat kesepian melanda. “Tuhan, aku mohon jangan ambil orang yang aku sayangi lagi”, kataku dalam hati.***“Yah, Tania pergi ke sekolah dulu ya”, kataku sembari memasukkan sepotong roti ke dalam mulut.“Hati-hati sayang!”. Lima bulan sudah Bunda tersayangku pergi. Aku sudah bisa menerima segala yang terjadi pada Bundaku. Bunda pasti akan selalu menjaga diriku karena aku menyadari kehadiran di setiap kesepian. Ayah juga selalu di sisi menemaniku. Dia sebisa mungkin menemaniku walaupun terlihat sangat capek.“Tan, nanti kita ke makam Bunda ya”, ajak ayahku“Ya Yah. Tania sudah kangen dengan Bunda”.“Ayah juga”.Tanah kuburan sudah mulai mengering. Tiupan angin memainkan anginnya di sela doa-doaku. Ayat-ayat surat Yasin yang kubacakan seakan mengerti kesedian yang selalu kualami setiap mengunjungungi. Butiran air mata jatuh membasahi setiap tulisan ayat-ayat surat yasin. Kehadiran Bunda terasa di dalam hatiku. “Tania, ayo kita pulang. Awan sudah mendung dan sebentar lagi akan turun hujan”, katanya mengajakAku hapus air mata yang masih mengalir. Kerinduan yang mendalam sedikit menghilang. Langkah kakiku melebar bagaikan selebar hatiku melepaskan kepergiannya. “Sayang, malam nanti kamu ada acara. Ayah mau menemukan kamu dengan seseorang”.“Ehm,,, seperti tidak ada Yah”, jawabku sembari membuka pintu mobil.“Tania, kamu harus siap-siap sebelum jam 8 malam ya”, ujar ayahku lagi.Aku mengangguk kecil tanda setuju. Tidak terasa hujan turun membasahi mobil. Bulu kuduk berdiri menusuk sore itu. Pakaian tebal tidak bisa menutupi rasa dingin yang melanda tubuhku. ***Suara azhan Isya berdendang menyambut senja mentari. Di segala sujudku, aku memohon ampunan. Sejuta harapan bertabur di celah-celah hati yang sedih.Aku sudah bersiap-siap menantikan kedatangan tamu yang istimewa bagi ayahku. Baju lengan panjang berwarna hijua dan celana jeans telah aku kenakan sejak selesai sholat Isya tadi. “Ayah, siapa yang mau datang ke rumah kita?”, tanyaku.“Maafkan Ayah Tania”, jawabnya.“Maaf karena apa Yah?”Ayah tidak menjawab perkataanku. Dia duduk di ruang tamu sembari memandang pintu. Aku duduk di samping tanpa berbicara sepatah katapun. Tok…tok…tok… bunyi pintu di ketuk. Ayah membuka pintu dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berumur sebaya dengan ayahku berdiri di depan pintu. Mereka terlihat sangat akrab. Aku sedikit risih melihat keakraban mereka. Wajahnya masih terlihat muda dan belum nampak kerutan.“Hai, Tania”, sapanya.“Ehm… hai juga”, kataku gelagapan.“Sayang, kamu pasti lupa dengan tante Linda. Dia adik mama kamu”, kata ayah memperkenalkan.Keningku berkerut mengingat kenangan masa kecil. Ingatanku mulai mengenali wajah yang tidak asing bagiku lagi. Sesosok wanita yang ramah dengan senyum menawannya menemaniku bermain. Dia terlihat ceria bersamaku meskipun aku membuatnya jengkel.“Oh… Tania ingat Yah. Tante selalu berkunjung ke rumah kita setiap bulan Ramdhan datang”.“Ya, kamu benar Tania.“Silahkan masuk tante”, ajakku.Di gandengnya tanganku menuju meja makan yang telah di siapkan Bi Minah. Hidangan malam ini sungguh enak dan lezat tidak seperti hari biasanya. Air liurku seperti turun meminta sesuatu masuk ke dalam mulut. Malam itu, kami makan bertiga layaknya sebuah keluarga yang utuh.Perut rasanya kenyang menyesakkan lambungku. Belum ada suara yang terdengar semenjak makan malam tadi. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Namun aku tidak mau tahu, karena aku belum mau berurusan dengan urusan orang dewasa.Malam semakin larut menyambut suara jangkrik menyanyikan lagunya. Di samping terbaring tante Linda yang tertidur nyenyak tapi terlihat ada beban yang di tanggungnya. Wajahnya mirip dengan Bunda yang sudah hidup kekal abadi di dunia yang tidak aku ketahui. Aku kembali mengingat masa-masa indah bersama Bunda dan Ayah yang selalu memanjaku. Tanpa terasa, aku tertidur sembari memimpikan semua kenangan yang aku miliki. ***Sudah satu bulan tante Linda berada di rumahku. Aku mulai terbiasa dengannya yang kuanggap seperti kakakku sendiri. Dia bisa mengerti aku yang selalu ada masalah kehidupan di masa remajaku ini. Dia mampu memberikan nasihat yang membuat aku termotivasi.“Pagi tante”, ujarku.“Pagi juga Tania. Kamu mau roti bakar”, katanya sembari menawari roti yang baru selesai di bakar.“Ehm… bolehlah Tante”.“Selamat pagi semuanya”, kata Ayahku mengucapkan selamat pagi.“Mas mau roti bakar”, kata tante Linda menawari.“Boleh”.Setiap hari selalu ada keceriaan yang datang di rumah sepi sejak kepergian Bunda. Namun aku mulai menyadari sedikit adanya perubahan di antara Ayah dan tante Linda. Mereka sering terlihat berbicara sesuatu di kala aku tidak bersama mereka. Wajah tante seperti menolak sesuatu di setiap pembicaraannya bersama Ayah. Aku tidak berani bertanya tentang apa yang di bicarakan mereka.Tiit…tiit… klason mobil berbunyi dari arah mobil yang begitu aku kenal. Ayah melambaikan tangannya kepadaku. Berlari-lari kecil, aku menuju ke tempatnya.“Ada pa Yah?”, tanyaku“Ayah hanya mau jemput kamu kok, emang tidak boleh ya jemput putri Ayah yang cantik ini”, godanya.Aku tersenyum dengan perkataanya. Sudah lama ayah tidak menjemputku ke sekolah karena biasa Pak Marwan yang selalu menjemputku. Arah mobilnya tidak menuju ke rumahku tapi ke sebuah rumah besar yang tidak aku kenal.Tante Linda sudah menunggu kedatangan kami. Dia memakai pakaian yang sangat indah dan menawan. Aku terpana akan kecantikan tante Linda yang mempesona.“Ayo Tania, masuk ke rumah”, ajaknya.Tanpa berkata apa-apa, aku mengikuti tante Linda dari belakang. Di setiap dinding, banyak fotoku sejak kecil terpasang. Ayah dengan tidak segan-segan duduk di sofa ruang keluarga. Wajahnya terlihat serius terpancar dari mata kecoklatannya.“Tania, ada yang mau Ayah dan tante Linda katakan”, kata Ayahku membuka pembicaraan.“Apa itu Yah”.“Sebenarnya Ayah dan tante Linda akan…”, katanya terputus.“Akan apa Yah”, tanyaku.“Tania, tante mohon kamu jangan marah ya”.“Sebenarnya Ayah dan tante Linda akan menikah”, kata Ayah mengagetkanku. Aku terkejut. Wajahku merah padam menahan nafas yang terhenti mendengar kata-kata itu yang keluar dari mulut Ayahku.“Apa? Ayah jahat. Sebegitu cepatkah Ayah melupakan Bunda”, kataku sembari berlari keluar rumah. Pikiranku kacau balau bagai di terpa badai. Air mataku mengalir tiada hentinya. Aku tidak tahu mengapa Ayah terlalu cepat melupakan Bunda dan mengantikan posisinya. Aku tidak bisa berpikir jernih. Malam itu, hari yang paling sedih yang pernah aku alami. Dua hari telah berlalu semenjak kejadian malam itu. Aku tidak pernah berbicara dengan Ayah maupun dengan tante Linda. Aku menganggap mereka itu tidak pernah ada di kehidupanku. Bi Minahlah yang selalu menemaniku dan menjadi tempat aku menangis. ***Deras air hujan membangunkan tidurku yang lelap. “Masih jam 10”, kataku dalam hati. kerongkonganku terasa haus. Aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Di pojok ruang tamu, kulihat meja kerja Ayahku kosong. Ayah tidak di sana yang biasanya selalu berkerja larut malam. Aku duduki tempat yang selalu Ayah duduk di saat ia mengerjakan tugasnya. Kertas-kertas yang tidak aku mengerti berserakan memenuhi seisi meja. Mataku berhenti ke secarik surat berwarna biru. Tidak ada nama pengirim yang tertera di sana hanya ada namaku yang di tujukan. Perlahan-lahan, aku mulai membuka secarik surat itu.Untuk Anakku tersayang, TaniaSayang, saat kamu menerima surat ini mungkin Bunda sudah pergi jauh ke tempat yang mempertemukan kita di keabadian nanti. Banyak kesalahan yang sudah Bunda perbuat kepada Ayah kamu dan tante Linda. Ini bukan salah mereka, tapi semua ini karena keegoisan Bunda.Tania, Bunda bukan ibu kandungmu. Bunda yang memaksa Ayahmu untuk menikah dengan tante Linda agar kami mempunyai keturunan dengan syarat, anak dari pernikahan tersebut harus menjadi anak angkat kami tanpa di ketahui orang lain. Setelah kamu lahir, Ayahmu menceraikan tante Linda karena Ayah tidak ingin membuat Bunda sakit hati. Tania, tante Linda tidak salah apa-apa. Bundalah yang salah yang menginginkan sesuatu yang tidak bisa Bunda capai. Namun ketahuilah Tania, Bunda tidak pernah menyesal melakukan ini karena Bunda sayang kamu, Ayah kamu, dan tante Linda. Sebelum Bunda meninggalkan kalian, Bunda bertemu dengan tante Linda. Bunda meminta tante Linda untuk menikah lagi dengan Ayah kamu sebagai penembus dosa Bunda. Bunda ingin Tania, Ayah, dan tante Linda bisa selalu bersama karena itulah yang terbaik. Yang tersayang, Bunda Air mataku menetes mengalir di pipiku. Ayah dan tante Linda berdiri di depan pintu sembari memandangku. Isakanku semakin kuat, menahan kesedihan, keharuan, dan kebahagian yang menjadi satu. Aku berlari di dekat mereka dan memeluk erat. Kehangatan yang kurasakan di sekujur tubuhku. Aku yakin, inilah yang Bunda mau karena aku merasakan keberadaanya. Tiupan angin malam itu, menenang hatiku yang galau, memudarkan segala kesalahpahaman yang terjadi. Terima kasih, Bunda. Aku selalu mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar