Sabtu, 12 Juni 2010

●●KETIKA JIWA-JIWA DAN MALAIKAT MENANGIS●●

"Dalam memahami firman Allah, Abu Bakar al-Shiddiq berkata, "Yang dimaksud dengan al-barru adalah lisan sedangkan yang dimaksud dengan al-bahru adalah kalbu. Jiwa-jiwa akan menangis jika lisan seseorang rusak dan Malaikat akan menangis jika kalbu seseorang rusak " (Abu Bakar al-Shiddiq Ra)

‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”


Pada umumnya, apa yang keluar dari tubuh manusia adalah sesuatu yang berbau tidak sedap. Mulai dari bau keringat, bau mulut, hingga bau yang satu itu. Hanya beberapa organ tertentu saja yang masih memungkinkan mengeluarkan keharuman. Lisan dengan kata-katanya yang indah, bermakna, dan menyejukkan, akal dengan gagasan-gagasannya yang baik dan bermanfaat, atau hati (qalb dalam bahasa Arab) seseorang dengan niat tulusnya yang melahirkan amal-amal shalih. Apabila lisan, akal, dan hati seseorang tidak bisa mengeluarkan yang baik, maka dapat dipastikan seluruh tubuhnya hanya akan memproduksi bau busuk.

Kenyataannya, apa yang keluar dari akal, lisan, dan hati manusia memiliki implikasi yang sangat luas terhadap dirinya dan orang lain. Rasulullah Saw melukiskan lisan dan hati sebagai kekayaan yang sangat berharga. ”Abdu bin Humaid menceriterakan ketika ayaat 34 surat al-Taubbah (”dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak”) turun kami sedang dalam suatu perjalanan. Kemudian beberapa orang sahabat berkata, ”Ayat tersebut turun berkenaan dengan emas dan perak. Seandainya kami tahu harta yang paling baik, tentu kami akan menyimpannya.” Rasulullah Saw kemudian bersabda, ”Harta yang paling baik adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan isteri yang beriman yang membantu suaminya dalam merealisasikan keimanannya” (HR, al-Tirmidzi).

Tentu saja kenyataan itu harus benar-benar disadari oleh setiap insan. Agaknya ungkapan Sayyidina Abu Bakar tersebut merefleksikan orang yang memiliki kesadaran tinggi tentang implikasi gerak dua komponen diri manusia tersebut (lisan dan hati).

Tak dapat dipungkiri, lidah adalah karunia Allah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Siapa pun pasti akan mengalami kesukaran untuk berkomunikasi dan menyampaikan gagasan-gagasan, bahkan keinginannya, kepada orang lain, tanpa melalui lisan. Barangkali lisan termasuk organ tubuh paling utama yang sering beraktivitas dalam keseharian kita. Bahkan dalam banyak hal, apa yang meluncur dari lisan menjadi ukuran kualitas seseorang. “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR, Bukhari).

Dari lisan meluncur apa yang disebut ”kata”. Di sini penstrukturan tanda atau bunyi menyimpan makna yang sangat penting dalam proses komunikasi. Dengan ”kata”, sebuah tanda atau artikulasi diri dapat dipahami oleh orang lain. Tanpa ”kata” yang meluncur dari lisan nyaris seseorang tidak dapat merealisasikan keinginan-keinginannya yang paling fundamental sekalipun yang karenanya ia akan teralienasi dari lingkungan otentiknya. Oleh sebab itu posisi lisan dalam aktivitas kemanusiaan memiliki nilai sangat strategis.

Nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tampak pada ungkapan Rasulullah Saw ketika beliau menjawab pertanyaan Uqbah bin Amir. Dalam satu riwayat Uqbah berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, ”Wahai Rasulullah Saw, apakah jalan keselamatan? Beliau menjawab, ”Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu.” (HR, al-Tirmidzi).

”Kata” yang meluncur dari lisan seseorang, implikasi dan pengaruhnya bisa melebihi kapasitas dirinya dan zamannya. Akan menggema dan dapat memantul di semua benua. Banyak ungkapan yang lahir dari lisan seseorang memiliki nilai abadi.

Pada kenyataannya, sebuah keyakinan, gagasan, atau doktrin hanya dapat dipahami melalui rangkaian kata-kata yang pada mulanya meluncur dari lisan. Bahkan sebuah arketip atau pola yang diteladani dapat dipahami oleh manusia pada awalnya melalui kata-kata. Oleh sebab itu nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tak dapat diingkari oleh siapa pun. Dalam sebuah hadits dikatakan, ”Tiada satu pun dari jasad manusia melainkan akan mengadukan lidah kepada Allah Swt atas ketajamannya.” (HR, Abu Dunia).

Aktivitas lisan bisa berefek ganda dan luar biasa pengaruhnya terhadap tata hubungan manusia. Terkadang ia dapat meluncurkan sejumlah kebaikan dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari'at. Sebaliknya, lisan juga dapat meluncurkan sejumlah kejelekan yang membahayakan dirinya dan orang lain bagi siapa yang menggunakannya secara sembarangan. “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR, Bukhari)

Bahaya lisan yang tidak dikendalikan oleh norma dan tuntunan syari'at bisa menyeret seseorang ke jurang kebinasaan. Untuk itu Rasulullah Saw menasehati agar menjaga lidah dengan baik. Ia menganjurkan untuk bisa diam ketika tidak bisa bicara baik. "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah ". (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab ketajaman lidah mengalahkan ketajaman pedang yang mampu menebas leher siapa pun, maka dimensi daya hancurnya kepada kehidupan sangat luas. Rasulullah Saw bersabda:"Tidak ada satupun jasad manusia, kecuali pasti kelak akan mengadukan lidah kepada Allah atas ketajamannya".(HR, Ibnu Abi Dunya). Bahkan dosa bisa membiak dari lisan. "Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya" (HR. Al- Thabrani, Ibnu Abi Dunya, dan Al Baihaqi).

Atas dasar itu kita dapat memahami nilai keutamaan menjaga lidah yang diajarkan oleh Islam. Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin mengatakan, "Ketahuilah bahwa lidah bahayanya sangat besar, sedikit orang yang selamat darinya, kecuali dengan banyak diam ". Luqman al-Hakim berkata: "Diam itu adalah kebijakan, namun sedikit sekali orang yang melakukannya". Rasulullah Saw bersabda, "Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena dengan demikian kamu dapat mengalahkan syaitan " (HR, al-Thabarani dan Ibnu Hibban).

Ketika lisan mengalami kerusakan, maka akibat pastinya adalah meluncurnya produk lisan yang membahayakan orisinalitas jiwa manusia. Baik jiwa orang yang mengeluarkannya atau pun jiwa yang menangkapnya. Selanjutnya, kesadaran azali kita, seperti ketika kita di tanya oleh Sang Pencipta di alam azali, “Apakah aku Rabb kalian?” dan kita menjawab, “Benar”, akan menjadi rusak pula karena diperkosa oleh berbagai produk lisan yang menggencetnya. Akibatnya jiwa pun menangis karenanya. Sebab jiwa pada dasarnya/secara orisinil senantiasa cenderung mencari ketenangan, rasa nyaman dan kepuasan.

Kecenderungan itu akan menuntut pencarian pada segala sesuatu di luar dirinya yang mampu menjaga dan berkesesuaian dengan orisinalitas jiwa. Oleh karena itu, jiwa-jiwa pun akan menjerit bila dibombardir oleh produk lisan yang buruk sebab hal itu sangat bertentangan dengan kecenderungannya. Jika interaksi jiwa dengan produk lisan yang buruk berlangsung secara terus menerus, maka orisinalitas jiwa akan tergerus sedikit demi sedikit yang pada akhirnya akan melahirkan insensifitas yang mengancam keselamatannya. Lebih parah jika sampai pada tingkat kesadaran azalinya terbenam oleh ingar-bingar produk lisan.

Selain lisan, hati adalah komponen penting lain, yang posisinya sangat menentukan perjalanan hidup manusia. Lathifah rabbaniyyah, yang amat halus dan lembut; yang tidak kesatmata, tak berupa, dan tak dapat diraba; yang bersifat Rabbani dan ruhani ini, pada hakikatnya merupakan inti manusia. Dalam bahasa Arab, makna literal qalb adalah ”berbalik” atau ”berputar balik”. Allah-lah yang membulak-balikkan hati manusia. Dalam sebuah doa dikatakan ”ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ’ala dinik.”

Hati laksana sebuah radar yang terus-menerus berputar dan mengamati secara sepintas. Ia selalu mencari yang suci. Hati adalah cermin yang dapat memantulkan cahaya Ilahiah. Imam Ghazali mengatakan, ”Wahai teman! Hatimu adalah cermin yang mengkilap. Kau harus membersihkan debu yang mengotorinya, karena hati ditakdirkan untuk memantulkan rahasia-rahasia Ilahi. Oleh karena itu hati merupakan potensi utama yang dianugerahkan kepada manusia. Oleh Allah Swt, hati diberi kemampuan untuk menyerap, menghayati, memahami, dan mengenal segala sesuatu yang diinderai dan dipercayainya demi kemajuan eksistensinya. Hati adalah medium kemajuan spiritualitas manusia.

Oleh karena itu kemajuan kemanusiaan tidak hanya ada pada otak semata, melainkan ada kekuatan lain yang lebih dahsyat dari kekuatan otak, akal, dan pikiran, yaitu kekuatan hati. Sebab, kekuatan ini bukan hanya mengantarkan manusia meraih sukses namun juga mampu mengantarkan pada kemuliaan hidup dan kemajuan psiritualnya yang menentukan kualitas dirinya. Dalam kajian sufi, hati dilukiskan sebagai raja yang mengatur dan memerintahkan otak, pikiran dan panca indra manusia.

Allah Swt mengajarkan kepada manusia agar selalu mendengarkan suara hati nuraninya dan karena itu kewajiban kita untuk memelihara kejernihannya. Sebab dengan kejernihan hati diharapkan sifat-sifat mulia yang tertanam di dalamnya dapat memancar ke prilaku lahiriah.

Sesungguhnya di dalam hati manusia sudah tertanam percikan sifat-sifat “Illahiah”, sifat-sifat maha mulia Allah Swt, telah bersemayam. Dapat dikatakan, semua yang hak, terindah, dan terbaik bersarang di dalamnya. Melalui pemeliharaan yang serius hati manusia bisa terang benderang, bercahaya dengan cahaya dari sifat-sifat-Nya Yang Maha Mulia, Yang Maha Agung, dan Maha sempurna. Medium pemeliharaaan yang paling efektif adalah dengan makrifat, yakni ilmu-ilmu yang berakar pada tauhid, mengesakan Allah Swt.

Selanjutnya dengan makrifat yang terus mekar di hati, cahaya kebesaran Allah, keindahan, dan keagunganNya akan terus memancar. Kesadaran batinnya tentang yang benar dan salah akan selalu hidup. Dengan cahaya itu ia dapat menagkap kemahamuliaan Allah Swt, mengambil dan mengamalkan segala kehendak-Nya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat, serta menjauhi sejauh-jauhnya segala yang membawa madarat. Memang hati menjadi pusat kebaikan, ketenangan, kedamaian, kesehatan, dan kebahagiaan hakiki.

Hati yang jernih dan sehat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih dan pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan mulia berdasarkan suara hati nurani yang bening. Socrates mengidentikkan suara hati dengan suara peringatan batin yang diaanggapnya berasal dari Allah. Filosof lain menyebutnya sebagai percikan ilahi yang mampu menyediakan pedoman dalam kehidupan.

Kejernihan hati dapat menjadikan manusia menjadi mampu berpikir positif, betindak bijak, cerdas, dan berbagai sifat-sifat mulia. Dengan hati yang jernih, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih
produktif untuk meraih kemuliaan hakiki. Sebab, seperti dikemukakan para pemikir, manusia yang suara hatinya jernih karena berada dalam wadah hati yang jernih merupakan fakultas akal yang mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Akan tetapi hati tidak akan dapat dijernihkan dengan cahaya ilahiah jika ia teralingi oleh nafsu duniawi dan ternodai oleh maksiat. Kecerahannya ditentukan oleh ketulusannya dalam mempersembahkan dirinya kepada Allah yang merupakan tujuan awal bagi manusia dan kesaksian zalinya.

Ibnu ’Atha`illah dalam al-Hikam mengattakan, ”Bagaimana hati dapat bersinar sementara bayang-bayang dunia terlukis dalam cerminnya? Atau, bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana hati akan antusias menghadap hadirat-Nya jika ia belum suci dari ”janabah” kelalaiannya? Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman rahasia-rahasia sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahannya?.

Lebih dari itu hati adalah kunci hubungan manusia dengan Tuhannya dikarenakan ia tempat bersemayamnya iman. Hati juga menjadi kunci hubungan dengan sesama manusia. Bahkan ia adalah sumber kesehatan fisik, kekuatan mental, dan kecerdasan emosional. Dalam kajian sufi hati menyimpan kecerdasan dan sekaligus kearifan yang terdalam bagi manusia. Ia adalah lokus makrifat, genosis, atau pengetahuan spiritual. Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya hati seorang mukmin mampu memuat segala sesuatu yang tidaka dapat dimuat oleh langit dan bumi.”

Oleh sebab posisi hati adalah terminal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan alam, maka kejernihan hati dapat menjadikan hubungan itu sehat, baik, dan konstruktif. Hubungan dengan Tuhannya akan penuh ketundukan dan kecintaan. Hubungan dengan sesamanya akan mengedepankan kasih sayang, kejujuran, kebersamaan dan saling menghormati sehingga menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. Hubungan dengan alam dan lingkungannya dengan etik yang menyebabkan tidak menimbulkan kerusakan.

Begitulah posisi strategis hati sangat menentukan kemanausiaan seseorang. Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur Rasulullah Saw bersabda, "Ingatlah sesungguhnya pada jasad itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh jasad. Ingatlah, ia adalah hati."

Oleh sebab itu jika hati rusak maka seluruh tata hubungan menjadi rusak pula yang menyebabkan malaikat pun menangis. Dalam kitab al-Tadzkirah fi Ahwal al-Maut wa Umur al-Akhirah, Imam al-Qurthubi mengutip sebuah riwayat dari Imam al-Zuhri, Wahab bin Munabbih, dan lain-lainnya. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa ketika itu Allah mengutus malaikat Jibril untuk membawakan tanah kepada – Nya.
Ketika diambil oleh Jibril, tanah memohon perlindungan kepada Allah dari Jibril, sehingga Jibril tidak jadi membawanya. Hal yang sama juga terjadi pada Malaikat kedua yang diutus. Akan tetapi, tidak demikian halnya pada malaikat yang ketiga. Ia justru berhasil membawakan tanah kepada Allah swt. Lalu Allah bertanya kepadanya, ”Apakah tanah itu tidak memohon perlindungan kepada- Ku dari kamu ?” Malaikat menjawab, ”Ya”. Allah bertanya lagi, ” Kenapa kamu tidak merasa kasihan kepadanya, seperti kedua tanganmu?”. Malaikat menjawab, ”Aku lebih mengutamakan taat kepada Engkau dari pada mengasihaninya (tanah)”. Allah berfirman, ”Pergilah! Kamu adalah malaikat maut, yang aku beri kuasa untuk mencabut nyawa seluruh makhluk ”. Mendengar itu, malaikat menangis. Kemudian Allah bertanya lagi, ”Kenapa kamu menangis?” Malaikat pun menjawab : ” Ya Tuhan, dari tanah ini Engkau ciptakan para nabi dan makhluk pilihan lainnya. Dan, Engkau tidak menciptakan makhluk yang lebih mereka benci daripada kematian. Jika mereka mengenali aku, mereka pasti membenci dan mencaci maki aku”. Wallahu A’lam Selengkapnya...